Puisi
itu kembali terlantun dari bibir mungil Vera. Sudah hampir 3 tahun Vera
melantunkannya sambil duduk di dekat jendela kamarnya dan menatap
rembulan yang tiada henti menyinari malamnya. Itu seolah telah menjadi
kegiatan rutinnya sebelum tidur.
“Vera… kamu belum tidur nak…?” tegur Mama Vera yang tiba-tiba saja telah berdiri di belakangnya.
“Belum Ma…” jawab Vera singkat.
“Trus, ngapain kamu duduk di situ…? Nanti kamu masuk angin.”
“Aku cuma liat bulan kok Ma. Liat dech, bulannya cantik banget…! Kayak Mama. Rasanya, aku ingin terus melihat bulan itu. Selamanya…” Ujar Vera sambil tersenyum dan memeluk Mamanya. Mama Vera pun membalasnya dengan pelukan yang hangat. Dan tanpa dia sadari, dia meneteskan air mata.
“Ma, Mama kok nangis…?” Tanya Vera saat air mata Mamanya menetes tepat di jemari tangannya.
“Nggak apa-apa sayang. Sekarang kamu tidur yah…!” ujar Mamanya sambil menyeka air matanya dan menuntun Vera ke pembaringannya.
“Selamat malam Ma.” Ujar Vera sambil tersenyum.
“Selamat malam sayang…” balas Mama Vera sambil mencium kening putri semata wayangnya.
Keesokan
harinya, Vera kembali beraktivitas seperti biasanya. Bangun pagi-pagi,
shalat, mandi, berpakaian rapi, sarapan, kemudian ke sekolah.
“Ma, aku berangkat dulu yach…” pamit Vera.
“Iya nak. Hati-hati di jalan.”
“Ok Ma… Assalamu alai’kum…”
“Wa’alaikum salam.”
Sesampainya di sekolah, Vera disambut dengan happy oleh sahabat-sahabatnya.
“Pagi guys…” sapa Vera.
“Pagi nona Vera…” balas sahabat-sahabatnya serempak.
“Happy banget non… sampe senyum-senyum sendiri… baru dapat lotre yah…?” canda Citra.
“Hehehe…
nggak kok. Pagi hari itu harus disambut dengan senyuman. Agar hari yang
kita lalui terus dipenuhi oleh senyum dan kebahagian. Juga dapat
menghapus segala luka dan duka yang terselip di dalam hati. Sehingga
kecerian kembali meliputi perasaan kita. Dan, nggak ada gunanya juga
terus bernestapa meratapi kesedihan yang berlalu… maka, tetaplah kau
tersenyum agar semua dukamu berangsur hilang dan berganti menjadi
kecerian.” ujar Vera sambil tersenyum manis yang membuatnya kelihatan
lebih cantik.
“Iyah Bu guru…” balas Citra.
“Yayayaa…beginilah
susahnya berbicara dengan sang pujangga. Setia ucapan kita pasti
dibalas dangan kata-kata yang puitis.” Timpal Karin.
“Hehehee… kalian ada-ada aja.”
Tak
berapa lama mereka mengobrol, bel pun berbunyi. Mereka segera duduk di
bangku masing-masing sambil menunggu guru mata pelajaran pertama hari
itu.
“Selamat pagi anak-anak.” sapa Pak Syarif guru bahasa Indonesia sekaligus wali kelas mereka yang baru saja tiba di kelas.
“Pagi Pak……” jawab anak-anak dengan serempak.
“Baiklah,
sebelum kita memulai pelajaran hari ini, saya akan memberitahukan
sebuah informasi mengenai ulangan semester genap.” Ujar Pak Syarif.
“Kemungkinan, ulangan akan dilaksanakan pada pertengahan bulan Desember
nanti kira-kira tanggal 12-17. Jadi, saya harap kalian bisa belajar
dengan sungguh-sungguh dan saya tidak mau ada siswa atau siswi dari
kelas ini yang tinggal kelas. Kalian mengerti…?!” tegas Pak Syarif.
“Mengerti Pak…”
“Desember…” desis Vera lirih.
“Kenapa Ver…? Kok kamu kelihatan tegang gitu…? Biasanya kamu yang paling semangat kalau mau ulangan…?” Tanya Karin.
“Nggak
kok. Oiaya, kita harus ngebentuk kelompok belajar bersama agar kegiatan
belajar kita bisa efektif dan nggak cuma di sekolah.” Jawab Vera sambil
berusaha tersenyum.
“Aku setuju…” ujar Citra diikuti anggukan setuju pula dari Karin.
“Tapi, nggak seru kalau cuma kita bertiga. Gimana kalau kita ajak Nia dan Dhea…?” usul Karin.
“Terserah kalian aja dech…” ujar Vera.
Mereka
kemudian mengikuti pelajaran hari itu dengan serius. Dan sepulang
sekolah, Vera, Citra, dan Karin mengutarakan niat mereka untuk mengajak
Nia dan Dhea bergabung dalam kelompok belajar mereka. Dan ajakan
tersebut disambut dengan riang oleh mereka.
“Ver…kita belajarnya di rumah kamu aja yah. Rumah kamu kan luas, jadi pasti bisa nampung kita.” Usul Nia.
“Iya.
Lagipula, di rumah juga nggak ada siapa-siapa kok. Cuma ada aku dan
Mama. Siapa tahu, dengan kehadiran kalian, rumahku bisa jadi rame. Yah,
ibarat kata hadirnya dirimu kan berikan suasana baru dalam hariku”
Jawab Vera sambil tersenyum.
“Ok. Sekarang kita tinggal ngatur jadwalnya aja.” Kata Dhea.
“Aku nggak bisa hari senin dan rabu. Soalnya ada kursus bahasa inggris.” Ujar Citra.
“Aku juga nggak bisa kalau hari rabu. Aku kan lagi kursus Matematika.” Timpal Karin.
“Kalau aku sich belakangan ini, lagi nggak ada kegiatan. So, hari apa aja bisa.” Nia ikut angkat bicara.
“Kalau kamu Dhe…?” Tanya Vera sambil melihat ke arah Dhea.
“Aku sama kok kayak Nia. Kapan aja bisa.”
“Mmmh…berhubung
hari jum’at aku kursus bahasa inggris dan setiap senin aku ngajar
anak-anak ngaji, jadi jadwal bisa hari selasa, kamis, dan sabtu.
Gimana…?” Vera memberi usul.
“Ok dech…” jawab yang lainnya serempak.
Setelah
selesai mengatur jadwal yang ditetapkan, mereka kemudian pulang ke
rumah masing-masing. Kebetulan hari itu, Vera nggak bawa motor, jadi dia
nebeng sama Karin.
“Vera…
kamu kenapa nak…? Kamu kelihatan pucat.” Tegur Mamanya ketika Vera baru
pulang dan berjalan menuju kamar sambil memegang kepalanya.
“Nggak
apa-apa kok Ma. Aku Cuma sedikit pusing. Mungkin karena cuaca yang
sangat panas.” Jawab Vera sambil berusaha tersenyum karena, dia tak
ingin membuat Mamanya merasa cemas.
“Kamu sudah makan obat…?”
“Udah
tadi di sekolah. Mama nggak usah khawatir yah. Aku baik-baik aja kok.
Aku cuma kurang istirahat. Di sekolah juga lagi banyak tugas.”
“Ya sudah. Sekarang kamu makan yah nak.! Setelah itu kamu tidur. Biar perasaan kamu bisa lebih enakan.”
“Iyah Ma.”
Vera
kemudian mengganti seragam sekolahnya kemudian makan siang bareng
Mamanya. Selepas makan, Vera lalu memberitahu Mamanya tentang kelompok
belajar yang baru dia bentuk. Dan Mamanya pun setuju dengan keinginan
Vera yang mengajak temannya belajar di rumah mereka.
***
Ujian semester kurang lebih 1 minggu lagi. Vera dan kawan-kawannya
sudah siap dengan matang untuk menghadapi ujian nanti. Namun,
teman-teman Vera merasa heran karena sudah satu minggu lebih Vera tidak
masuk sekolah. Menurut surat yang disampaikan kepada guru, Vera sedang
sakit. Tapi, mereka tak tahu Vera sakit apa. Karena selama ini Vera
kelihatan baik-baik saja. Kalau pun sakit, paling cuma dua atau tiga
hari saja. Itu pun hanya sakit ringan.
“Vera sakit apa yah…? Nggak biasanya dia sakit sampai berhari-hari kayak sekarang.” Ujar Citra.
“Iya nich. Padahal semester bakal dilaksanakan minggu depan.” Tambah Dhea.
“Gimana kalau kita ngejenguk Vera aja. Udah lama juga kita nggak kumpul-kumpul bareng.” Usul Nia.
“Iya nih. Aku juga kangen ama kata-kata puitis anak itu.” Ujar Karin sambil nyengir.
“So, kita go-nya kapan…” Tanya Dhea.
“Ntar aja. Pas pulang sekolah. Hari ini kan hari sabtu, jadi kita pulangnya cepet.” Nia kembali memberi usul.
“Ya deh.” Semuanya setuju.
Sepulang sekolah, mereka semua kemudian ke rumah Vera. Berharap bisa bercanda ria kembali dengan sahabat mereka.
“Assalamu
alaikum…” seru mereka serempak ketika sampai di depan rumah Vera.
Namun, tak ada jawaban. Mereka kemudian kembali memberi salam. Dan tak
berapa kemudian, Mama Vera datang sambil menyeka air mata yang berlinang
di pipinya.
“Wa’alaikum salam…” jawabnya dengan terbata.
“Ada
apa tante…? Tante kok nangis…? Vera di mana…?” Tanya Citra dengan
perasaan khawaatir. Namun Mama Vera tak menjawab dia hanya terus diam
dalam tangisannya yang membuat Citra, Karin, dan Nia heran campur
khawatir.
“Tante tenang dulu yah. Kita ke sini cuma mau ngejenguk Vera kok.” Nia mencoba menenangkannya.
“Kalau
kalian mau ngejenguk Vera, dia ada di kamarnya.” Ujar Mama Vera dengan
terbata dan menuntun keempat gadis belia tersebut ke kamar Vera. Namun,
apa yang Citra, Karin, Nia, dan Dhea liat sungguh membuat mereka kaget.
Vera tengah terbaring tak berdaya di atas kasurnya dengan selang infus
yang ada di pergelangan tangannya.
“Vera
kenapa tante…? Apa yang terjadi sama dia…?” Tanya Citra yang tak
sanggup menahan air matanya saat berdiri tepat di hadapan sahabatnya.
“Sudah
5 hari Vera terbaring koma. Tapi, dia tak mau di rawat di rumah sakit.
Dia bersih keras mau di rawat di rumah. Sebenarnya, selama ini Vera
mengidap penyakit kanker otak. Tapi, dia selalu melarang tante untuk
memberitahukannya ke kalian. Dan dokter memvonisnya hanya bisa bertahan
sampai Desember tahun ini.” Jelas Mama Vera dengan air mata yang
bercucuran.
“Astagfirullah hal adzim…” desis mereka berempat hampir bersamaan.
“Vera…
kenapa kamu nggak pernah bilang ke kita kalau kamu itu sakit. Kenapa
Ver…? Kita kan sahabat…? Tapi, kenapa kamu nyembunyiin hal ini dari
kami…” ujar Karin sambil menangis dan menggenggam tangan Vera.
“Vera…bangun…!!!
Kamu harus kuat. Kita selalu ada buat kamu. Kita semua sayang sama kamu
Ver. Kita nggak mau kehilangan kamu…” lanjut Nia. Setelah mendengar
kata-kata Nia, tiba-tiba saja jari tangan Vera bergerak dan Vera
perlahan membuka matanya.
“Vera…kamu sadar nak.” Ujar Mamanya sambil mendekat ke arah Vera.
“Ma..Mama…” ujar Vera dengan terbata dan suara yang terdengar parau.
“Iya
sayang… Mama di sini. Di sini juga ada sahabat-sahabat kamu. Mereka mau
ketemu sama kamu. Katanya kamu harus kuat.” Mama Vera kembali tak dapat
menahan air matanya.
“Guys…maafin aku yah…” ujar Vera lagi.
“Ssssstt…kamu
nggak perlu ngomomg apa-apa Ver. Kita udah tahu. Sekarang kamu yang
semangat yah.” Ucap Dhea dalam isak. Vera yang tak mampu bersuara lagi,
hanya bisa memaksa dirinya untuk tersenyum. Tiba-tiba saja Vera berusaha
mengangkat kepalanya dan mengambil sesuatu di bawah bantalnya. Dan
ternyata itu adalah sebuah surat. Vera kemudian menyerahkan surat
tersebut kepada Citra dengan tangan yang bergetar.
“Aku pengen kalian baca surat itu.” Ujar Vera dengan terbata-bata.
“Iya Ver. Kita akan baca surat ini.” Jawab Citra sambil meraih surat yang disodorkan Vera.
“Ma…temen-temen…aku
mau tidur dulu yah. Aku capek. Aku mau istirahat dulu. Kalian jaga diri
baik-baik.” Ucap Vera lagi sambil menutup kedua matanya. Mama dan
temam-temannya hanya bisa mengangguk dan menangis mendengar perkataan
Vera. Perkataan terakhir yang keluar dari mulut Vera. Karena beberapa
saat setelah itu, Vera telah menghembuskan nafas terakhirnya dan
meninggalkan semua orang yang mengasihinya. Mama dan sahabat-sahabatnya
hanya bisa menangisi jasad Vera yang telah terbujur kaku. Tak lama
setelah itu, Citra pun membuka amplop surat yang diberikan oleh Vera dan
membacanya bersama semua.
Dear My Friend…
Guyz…
Maafin
aku yah. Aku nggak bermaksud menyembunyikan tentang penyakitku ke
kalian. Aku cuma nggak mau kalian khawatir dengan keadaanku. Aku juga
nggak mau kalian mengasihani aku. Aku mau kalian menganggap aku sebagai
Vera yang sehat, kuat, dan ceria. Bukan Vera yang sakit-sakitan.
Guyz…
Aku
sayang banget ama kalian. Kalian ibarat bumi bagi aku. Aku nggak akan
bisa hidup tanpa kalian. Tawa dan canda kalian selalu bisa membuat aku
tersenyum dan semangat. Mungkin tanpa kalian aku udah lama menyerah.
Tapi aku selalu ingin hidup. Hidup untuk tetap bersama kalian hingga
Desember tahun ini.
Guyz…
Mungkin
aku nggak bisa bertahan sampai semester nanti. Tapi aku mau kalian
tetap semangat. Walau tanpa aku, kalian harus bisa dapat nilai yang
maksimal. Dan kalian tahu, aku tuch seneng… banget…! Karena pada
penantianku tahun ini, kalian menemaniku menanti Desember. Hari-hari
yang kita lalui bersama beberapa waktu ini membuat aku merasa hidup ini
begitu indah dan berarti. Rasanya, aku masih ingin menikmati hari-hari
bersama kalian. Tapi, waktu aku nggak banyak. Dan aku harus pergi. Pergi
meninggalkan dunia fana ini. Membawa sejuta kenangan indah yang kita
miliki dan takkan pernah kulupa hingga kelak aku menutup mata.
Guyz…
Tiga
tahun aku menanti Desember. Dan Desember tahun ini aku benar-benar
harus pergi. Maaf jika selama ini aku terlalu banyak mempunyai
kesalahan terhadap kalian. Terima kasih untuk semua kenangan indah yang
telah kalian berikan padaku. Makasih dan selamat tinggal.
Much Love
Vera
Setelah membaca surat tersebut, mereka semua lag-lagi tak dapat membendung air matanya. Mereka terus menangisi kepergian Vera.
Kini
Vera telah tiada. Sang pujangga telah pergi. Pergi dengan tenang
menghadap sang khalik. Penantian Vera telah berakhir. Desember telah
menjemputnya tepat pada tanggal 3 Desember. Saat usianya menginjak 17
tahun. Vera kini telah tenang di sisi-Nya. Kini dia telah tersenyum
dalam tidur panjangnya. Tak ada yang dapat mencegah kepergian Vera.
Bahkan, waktu pun tak dapat menghentikannya.
Rembulan…
Temani aku malam ini
Aku sedang menanti Desember
Rembulan…
Dalam keremangan malam
Aku ingin kau menyinari hatiku yang redup
Rembulan…
Jangan pernah tinggalkanku
Dan tetaplah menemaniku
Menanti Desember…
Mama
Vera menemukan puisi itu di sela buku diary Vera. Puisi yang setiap
malam dilantunkan Vera semasa hidupnya. Kini Vera telah tersenyum di
samping rembulan. Rembulan yang senantiasa memenaninya menanti Desember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar